Perkenalkan, nama saya Anindya Rayi Aika. Biasa dipanggil Rayi.
Saya lahir di Jakarta, 20 0ktober 2005. Anak kedua dari empat bersaudara dan satu-satunya anak perempuan. Makanan kesukaan saya adalah sate, teh botol, dan spaghetti bolognese buatan Akung (Kakek) saya. Satu fakta tentang saya, nama 'Aika' yang ditaruh sebagai nama belakang saya, adalah sebuah akronim dari nama panggilan milik Ibu dan Ayah saya. Nama panggilan Ayah saya Ai dan nama panggilan Ibu saya Ika, dari Ai dan Ika jadilah Aika. Saya suka dengan nama belakang ini, rasanya tiap langkah yang saya ambil, contohnya ketika mengisi formulir pendaftaran atau menulis nama lengkap saat ulangan, selalu didampingi Ibu dan Ayah saya.
Saya lahir di Jakarta, dibesarkan di Bogor. Saya sering dianggap orang Betawi karena berasal dari Jakarta tetapi sebenarnya topik ini sering membuat saya bingung. Kakek dan Nenek dari silsilah keluarga Ayah saya merantau ke Jakarta dari Padang, begitu juga Nenek dari silsilah Ibu saya dan Kakek yang memiliki darah Jawa. Sayangnya, budaya Padang ataupun Jawa itu tidak menurun pada saya, hanya keturunan saja.
Jadi saya tidak memahami bahasa Padang maupun Jawa. Tapi hal itu tidak terlalu mengganggu saya, tumbuh di Bogor memberikan sedikit pemahaman dalam bahasa Sunda namun tidak cukup untuk berbincang dengan orang sunda.
Saya pindah dari Jakarta ke Bogor saat masih berumur 6 tahun, dengan alasan pekerjaan Ayah saya. Sejak penulis kecil, bisa dibilang punya bakat dalam bahasa Inggris, karena selalu dibiarkan menonton acara televisi asal Amerika dan Inggris. Silsilah keluarga Ibu penulis juga banyak yang fluent dalam bahasa Inggris, Kakek pernah bekerja keliling dunia sebagai koki, salah satu Paman saya hidup di Amerika Serikat selama 15 tahun, dan Tante saya bekerja dengan perusahaan global ternama dimana fluency dalam bahasa Inggris menjadi salah satu persyaratan bekerja.
Ibu saya juga mahir dalam bahasa tersebut, beliau dan Ayah saya menyadari kalau saya paham dengan apa yang dibicarakan di kartun Disney Channel yang saya tonton, hanya saja pada saat itu saya belum dapat berbicara Inggris. Begitu kami pindah ke Bogor, saya dimasukkan ke kursus bahasa Inggris dan disitulah saya mulai fasih.
Ini dibutktikan dengan kenaikkan nilai bahasa Inggris saya dari kelas 1 ke kelas 2. Dari 75 ke 90. Sejak saat itu nilai bahasa Inggris saya tidak pernah menginjak 70 lagi.
Nama saya dan bahasa Inggris selalu bergandengan tangan. "Rayi, yang ini artinya apa?" "Rayi, bagaimana cara mengeja kata ini?" "Wah, Rayi dapat 100 di ulangan harian bahasa Inggris kemarin." "Kamu diam-diam blasteran ya?"
English is my pride and joy.
Tapi yaa, setiap hal di dunia memiliki keseimbangan. Yin dan Yang. Baik dan buruk.
Kenyataannya, saat SD, saya hanya hebat dan mencolok dalam bahasa Inggris. Selebihnya, nilai dalam pelajaran lain selalu naik turun, jarang sekali konsisten. Kepentingan dalam bidang akademik secara luas tidak saya pahami pada waktu itu. Masa bodo kalau nilai MTK saya 40. Selama nilai bahasa Inggris saya bagus, saya tidak peduli. Padahal saya hanya selangkah dari dicap sebagai anak pemalas dan bodoh. Yaaa, setidaknya penulis juga dikenal sebagai aktris kecil yang suka muncul sebagai pemain drama kalau ada acara sekolah.
Ketika kelas 6, saya dihadapkan dengan nilai TryOut pertama yang jelek. 18,00 dari 30,00 kalau tidak salah ingat. Hari itu saya menangis dan berusaha untuk memperbaiki nilai. Berhasil sih, cuman yaa tidak berubah dari 10 ke 100. Lebih seperti dari 20 ke 70. Cukup bagus jika mengingat saya mulai dari mana. Penulis diberi kepercayaan untuk membawakan pidato bahasa Inggris pada wisuda kelulusan SD.
Alhamdulillah. Perjalanan penulis menuju kelulusan kelas 12 dan penerimaan mahasiswa baru tahun 2023 berjalan lancar, nilai TO yang selalu perlahan naik, diikuti dengan mengerjakan buku soal tiap hari setelah ulangan kenaikan kelas selesai. Saya tidak termasuk murid yang terpilih eligible mengikuti SNBP, di SMA kecil tersebut yang pada saat itu masih dalam proses mendapat akreditasi, dari 40 siswa dalam angkatan saya, hanya 4 orang yang eligible.
Jadi jalan untuk penulis ada pada SNBT, sebelum memfinalisasikan tujuan universitas dan jurusan, penulis sempat memiliki keinginan untuk memilih prodi PBI di UNJ. Alasannya, karena letak UNJ dan rumah nenek penulis berdekatan dan tentu akan memudahkan masalah tempat tinggal ketika kuliah.
Pada tahun yang sama, orang tua penulis memutuskan kalau adik penulis akan melanjutkan SMA di pesantren dan saat sedang melihat-lihat internet, menemukan UNY dan prodi PBI di situ.
Singkat cerita, seperti potongan puzzle yang menyatu, keluarga penulis pindah ke Yogyakarta dan adik penulis menempuh pesantren di Yogyakarta. Penulis berhasil diterima di PBI UNY, pilihan pertama.
Penulis berharap, di UNY, penulis dapat pelan-pelan mengembalikkan rasa percaya diri dan kemampuan public speaking yang sempat hilang pada jenjang SMP. Cerita dibalik kejadian itu agak terlalu pribadi untuk penulis ungkapkan, lebih karena penulis sendiri belum bisa berdamai dengan kejadian itu sampai saat ini, agak menyayangkan karena penulis merindukan rasanya berdiri di atas panggung dengan percaya diri.
Semoga keinginan penulis menjadi guru bahasa Inggris yang menginspirasi, memotivasi, dan baik hati semakin kokoh dan semoga jalan penulis untuk menempuh gelar sarjana pendidikan dipermudah.